Ulasan musik drama-tari “Sri Tanjung” oleh : I Wayan Sadra*
SECARA hakekat musik, bunyi atau suara adalah energi yang liar dan bebas tafsir. Namun, ketika kebudayaan dan civilisasi manusia mulai terbentuk, maka musik diberikan makna, arti, simbol, kagunaan atau fungsi-fungsi bagi kehidupan manusia. Terlebih bagi dunia seni.
Dalam seni pertunjukan, musik menjadi element penting kendati terkadang diposisikan pada level sekunder, atau bahkan sering menjadi subordinasi dari penampilan seni yang pokok. Sebab itu, pada posisi subordinasi ini, dalam dunia tari misalnya kerapkali musik, komposisi atau gending berubah nama menjadi musik pengiring tari.
Namun, akhir-akhir ini lewat diskusi dan debat yang sengit diantara para ahli seni pertunjukan sebutan musik pengiring itu telah berubah menjadi musik tari saja. Tanpa embel-embel pengiring. Hal ini dengan sendirinya telah merubah makna konotatif dari musik menjadi lebih bergengsi, setara dan sejajar. Disamping alasan emansipasi dan demokratisasi peran medium-medium seni dalam seni pertunjukan, kritik yang paling tajam muncul dengan mempertimbangkan bahwa pada akhir-akhir dekade atau milenium lalu mayoritas karya-karya yang lahir didominasi oleh kualitas instant yang kehilangan elan prosesnya. Musik seolah hanya menjadi barang pesanan setelah karya-karya yang dielaborasi itu telah lahir terlebih dahulu.
Padahal , banyak karya-karya klasik ataupun kontemporer yang lahir dengan memakai komposisi gending atau format lagu yang sudah ada. Kalau toch ada karya tari dan music yang berproses secara bersama-sama, mungkin kita bisa berkaca pada betapa cantiknya kolaborasi yang dilakukan oleh maestro Mario dan Sukra dalam menciptakan karya kebyar yang progresif dan baru pada jamannya. Sebab itu, menjadi menarik kiranya bagi penulis untuk menyoal proses penciptan musikal drama tari “Sri Tanjung” yang dilakukan oleh Kadek Suardana dan kawan-kawan dari Arti Foundation. Karya tersebut telah diujicobakan di gedung Ksiarnawa Taman Budaya Denpasar pada tanggal 23 Desember tahun lalu.
Sumbang saran yang diberikan sesusai ujicoba oleh para pakar seni pertunjukan seperti I Made Bandem, I Wayan Dibya, I Nyoman Catra dan Wakil Gubernur Bali Puspayoga, kesemua itu lebih mewacanakan aspek dramaturgi dan prospek kedepan “Sri Tanjung” sebagai karya seni pertunjukan kontemporer. Akan tetapi, justru penulis melihat bahwa musiknyalah yang telah memberikan sumbangan lebih besar bagi kebaruan seni pertunjukan ketimbang peran tari atau dramanya.
Sebelum karya musik “Sri Tanjung” tercipta, komponis telah memasusi proses eksperimentasi untuk membuat alat musik yang terdiri dari saron dan jegogan slonding dan rindik yang meniru embat atau pelarasan seperti yang ada pada piano. Alat-alat musik akustik inilah yang kemudian akan menjadi sampel-sampel bunyi, kemudian direkayasa dan disiasati.
Menjadi Kesatuan
Berbagai elemen musikal disusun dan ditata menjadi kesatuan yang utuh berdasarkan gambaran tentang tema dari ceritra “Sri Tanjung” lengkap dengan pengadegannya. Bentuk-bentuk atau struktur musikal yang diusung pada setiap adegan pada umumnya dikembangkan dari potongan-potongan repertoar musikal atau teater di Bali, seperti gambang, slonding, gender wayang, arja dan teknik vokal yang ada pada gambuh.
Perlu pula dicatat di sini ada pula bentuk-bentuk siklis ala minimalis. Semua genetika musikal di atas telah bermetamorfosis dalam ujudnya yang berbeda. Sebagai capaian awal, proses ini melahirkan karya dalam ujud karya elektronik-komputer atau modus ini sering disebut tape music.
Wilayah proses diatas bersifat amat individual dan personal. Bagi komposer yang telah terbiasa dengan pola kerja mekanik dari sistem komputer memang hal ini menjadi sebuah teritorial yang tak terbatas, penuh keleluasaan dan menawarkan berbagai kemungkinan. Pola-pola beat, ritme, dinamik ataupun melodi panjang yang mempunyai kompleksitas tinggi sekalipun dapat diciptakan disini. Teknologi digital mampu merubah dan memproduksi suara-suara dari sampling hasil rekaman alat akustik menjadi jauh lebih mengesankan, cerah, bergema, doubly stereo dan meruang.
Pun pengunaan range (wilayah nada) pelog dengan teba yang luas. Hal ini dikarenakan, alat sebentuk gangsa atau saron slonding yang diciptakan mengadaptasi susunan nada-nada piano yang mendekati duabelas nada. Keluasan wilayah nada inilah yang mampu membuat perubahan-perubahan nuansa musikal yang kaya, bervariasi dari tangga nada yang satu bermodulasi ketangga nada yang lain dan alih laras dari yang satu ke yang lainnya. Lompotan-lompatan nada dari tinggi ke rendah atau sebaliknya membuat susunan komposisi menjadi lebih berjiwa.
Akan tetapi, kini proses penciptaan kreatif yang bersifat personal tadi jelas-jelas menjadi probem. Terlebih lagi karya computer ini akan dipertemukan dengan kelompok penabuh. Suatu tahapan lain dari proses yang diibaratkan menjadi ajang sosialisasi dan pembudayaan karya personal. Transformasi dari karya komputer itu menjadi sangat problematik.
Faktor Kesulitan
Pada karya musik ini, Kadek secara prinsip telah menuangkan karya-karyanya lewat transfer materi yang ada pada jalan umum. Pada tahap awal, para musisi diberikan kesempatan untuk mendengarkan karya komputer secara intens dan berulang-ulang. Tahap kedua dilakukan latihan perindividual bagi setiap instrument menurut susunan pengadegan. Tahap yang terakhir adalah setiap instrument dihadirkan secara simultan.
Dapat dikatakan bahwa faktor kesulitan yang paling tinggi dari proses membangun kembali karya komputer elektonik ke dalam akusik adalah terletak pada permainan saron, suling dan jegogan.Chaos perasan pemain saron terjadi karena sulitnya mengidenifikasi nada-nada yang mempunyai sruti (jarak nada-nada) yang amat dekat. Pada kemampuan dan pengalaman penabuh sebatas kemampuan pelog sauh pitu, perubahan dalam setiap potongan melodi sering baginya tidak secara signifikan dapat dibedakan, padahal secara musikal disana telah terjadi perubahan.
Banyaknya pola ritme yang off beat dalam siklis yan sama, namun dimainkan dalam tangganada atau laras yang berbeda membuat perasaan penabuh dalam overlapping yang tinggi. Juga, proses ini melahirkan pola-pola perubahan dramatik dalam satu adegan-yang dalam garis tradisi disebut angsel dimana sang aktor atau penari membuat angkaban. Pada karya ini aksen semacam itu dibuat berbeda, lebih sederhana, tapi tidak biasa dalam referensi tradisi. Walaupun maknanya sama,namun hal ini tetap menimbulkan sesuatu perasaan mengganjal yang tidak enak dan harus dilakukan oleh musisi.
Kalau kita tanyakan hal ini kepada setiap penabuh, semuanya akan merasakan perasaan yang mengambang. Namun begitu, saya percaya pada pengamatan ahli musik Eduard Hanslick bahwa isi musik itu bukanlah apa yang dirasakan oleh para musisi yang memainkan komposisi tersebut atau apa yang ditulis oleh komposer. Isi musik itu adalah apa yang terdengar oleh penonton.
Sebagai musik yang dipersiapkan untuk mendukung suatu presentasi ekspresi teaterikal, karya musik ini terasa efektif. Pengulangan pola-pola musikal dalam kebiasaan tradisi yang memberi kelonggaran bagi aktor untuk berimprovisasi, ditiadakan sama sekali. Jika ada, itu sudah dihitung dengan presisi tertentu. Para penabuhpun tidak bisa leha-leha. Perubahan-perubahan musikal kerap sangat mendadak.
Semua harus konsentrasi pada adegan, sementara memori belum begitu nempel di kepala. Jika satu nada saja tertingggal, kita sudah tak lagi bisa mengikutinya. Sebab, tidak ada celah-celah musikal yang bisa diikuti. Tidak ada instrument atau musisi yang berlaku leader. Semua alat punya porsi penggarapan sendiri-sendiri.Meskipun karya ini telah diuji cobakan, namun proses ini masih meninggalkan hutang. Dikatakan begitu, baru delapan adegan yang mampu tergarap dalam 10 hari proses yang intens(pagi,siang dan malam), sementara enam yang lainnya belum tersentuh.
Sesungguhnya masih banyak yang dapat diwacanakan dalam proses penciptaan “Sri Tanjung”. Penulis ingin mengaris bawahi sekali lagi bahwa keseriusan dan kebutuhan waktu yang panjang untuk menciptakan karya-karya secara kolektif mutlak diperlukan. Mencanangkan konsep-konsep yang jelas dan baru disertai proses penciptan yang suntuk diharapkan akan melahirkan karya-karya baru yang mampu melongok kemasa depan, progresif dan ketika dipresentasikan di depan publik akan menjadi sebuah bentuk pembelajaran bersama, sebagaimana biasa karya-karya baru diwacanakan dalam dialektika kebudayaan..
*I Wayan Sadra, pengajar di Institut Seni Indonesia, Solo
Tulisan ini sudah dimuat di Rubrik "Budaya" Bali Post Minggu, 1 Februari 2009
0 Comments